project7alpha.com – Pada hari Rabu, 24 April, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menandai babak baru dalam regulasi teknologi digital dengan menandatangani suatu undang-undang yang bisa membawa TikTok ke ambang pelarangan di Amerika Serikat. Langkah ini merupakan kelanjutan dari persetujuan Kongres AS, yang menyertakan undang-undang tersebut dalam paket bantuan luar negeri, yang menargetkan Israel dan Ukraina.
Undang-undang ini membawa implikasi serius bagi TikTok, yang kini berada di bawah tekanan untuk menemukan pemilik baru. ByteDance, perusahaan induk TikTok, diberikan batas waktu selama 270 hari untuk penjualan, gagal dalam hal ini akan mengakibatkan aplikasi tersebut dihapus dari toko aplikasi AS dan layanan hosting internet.
Di tengah kemungkinan larangan tersebut, TikTok menyatakan kesiapannya untuk menggugat keputusan pemerintah AS. CEO TikTok, Shou Chew, menegaskan komitmen perusahaan untuk mempertahankan operasinya di AS, menyatakan kemungkinan tindakan hukum untuk melindungi hak-hak mereka.
Undang-undang ini sebelumnya mengalami kebuntuan di Senat setelah disahkan oleh DPR pada bulan Maret. Sebagai manuver strategis, RUU TikTok yang telah direvisi dimasukkan ke dalam paket bantuan luar negeri, sebuah taktik legislatif yang dimaksudkan untuk memanfaatkan prioritas bantuan asing AS demi mempercepat pengesahan RUU TikTok.
Akan tetapi, meskipun ByteDance diharuskan menjual TikTok sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan, pengguna AS masih dapat mengakses aplikasi ini hingga pertengahan Januari, menurut skenario hipotetis yang dihadapi.
Kompleksitas tambahan muncul dari kebijakan pemerintah China yang berhubungan dengan kontrol ekspor teknologi, khususnya algoritma yang menjadi kunci keberhasilan TikTok. Hukum ekspor China yang baru dapat menghambat penjualan TikTok atau, apabila terjadi penjualan tanpa algoritma inti, dapat mengurangi nilai dan keefektifan platform tersebut secara drastis.