RUU TNI-Polri-Kejaksaan Dikritik: Konsentrasi Wewenang Ancam Reformasi Demokrasi

project7alpha – Sejumlah pakar hukum, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan anggota parlemen mengkritik keras Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan struktur dan kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Kejaksaan Agung. Pemerintah mengusulkan RUU ini, tetapi para pengkritik menilai perluasan kewenangan institusi militer dan penegak hukum berisiko mengancam prinsip demokrasi dan transparansi pasca-Reformasi 1998.

Poin Kontroversial dalam RUU

Berdasarkan draf yang beredar, RUU ini mengusulkan perluasan kewenangan TNI dalam menangani “ancaman multidimensi” di tingkat daerah, termasuk isu non-militer seperti konflik agraria dan radikalisme. RUU juga mengajukan hak Polri melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan serta integrasi Kejaksaan ke dalam koordinasi langsung dengan Kementerian Pertahanan. Para pengamat menyoroti risiko kaburnya garis komando sipil-militer dan melemahnya mekanisme pengawasan eksternal.

Reaksi Aktivis dan Akademisi

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, menyebut RUU ini sebagai “kemunduran demokrasi”. Ia menegaskan, “Pemberian kewenangan penyadapan ke Polri tanpa pengawasan independen berpotensi memicu penyalahgunaan untuk membungkam suara kritis.” Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa perluasan peran TNI di ranah sipil melanggar UU No. 34/2004 yang membatasi tugas militer hanya pada ancaman bersenjata.

Kekhawatiran atas Potensi Penyalahgunaan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Reformasi Dwi Matra) mengidentifikasi tiga risiko utama RUU ini:

  1. Militarisasi kebijakan publik melalui intervensi TNI dalam urusan sipil.
  2. Peleburan fungsi penegakan hukum yang mengancam independensi Kejaksaan.
  3. Pemusatan kekuasaan di bawah kendali elit keamanan tanpa akuntabilitas.

Pembelaan Pemerintah

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, membantah tudingan para pengkritik. Ia menegaskan, “RUU ini bertujuan memperkuat sinergi TNI-Polri-Kejaksaan dalam menghadapi tantangan keamanan kontemporer seperti kejahatan transnasional dan terorisme.” Namun, pemerintah belum menjelaskan mekanisme pengawasan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Sorotan Sejarah

Kritik terhadap RUU ini mengingatkan dominasi TNI dan Polri dalam politik praktis era Orde Baru. Pasca-Reformasi, Indonesia memisahkan institusi sipil dan militer, termasuk mencabut Dwifungsi TNI melalui amendemen konstitusi. Haris Azhar dari LSM Lokataru memperingatkan, “RUU ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke era otoritarianisme terselubung.”

Langkah Selanjutnya

Koalisi 15 LSM mengajukan surat keberatan resmi ke DPR dan Presiden Joko Widodo. Mereka mendesak pemerintah menarik kembali draf RUU. Komisi III DPR berencana membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan RUU pada November 2023.

Dampak pada Demokrasi

Para pengamat mengkhawatirkan, jika RUU ini disahkan tanpa revisi, Indonesia akan menghadapi:

  • Pelemahan supremasi sipil dalam pengambilan kebijakan.
  • Peningkatan risiko pelanggaran HAM dengan dalih keamanan.
  • Pengikisan independensi lembaga penegak hukum.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, langkah Indonesia dalam mengatur ulang kewenangan sektor keamanan ini menjadi ujian bagi komitmen reformasi dan transparansi.