project7alpha – Koalisi masyarakat sipil dan akademisi mengkritik keras revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan DPR. Mereka menilai perubahan pasal terkait peran militer dalam urusan sipil berpotensi mengikis prinsip demokrasi dan mengembalikan praktik dwifungsi TNI. Desakan penarikan 2.569 prajurit aktif dari instansi sipil menjadi sorotan utama.
Latar Belakang Revisi
Revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI, yang rampung dibahas pada 15 Maret 2024, memperluas kewenangan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP). Pemerintah beralasan perubahan ini diperlukan untuk memperkuat mitigasi ancaman siber, terorisme, dan bencana alam. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (KMSD) mencatat setidaknya 5 pasal bermasalah, termasuk Pasal 47A yang melegalkan penugasan prajurit aktif di lembaga sipil tanpa batas waktu.
Argumen Penolakan
Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISSS), Siti Nurhayati, menyatakan, “Revisi ini membuka pintu bagi militerisasi birokrasi. Praktik seperti ini bertentangan dengan reformasi TNI 1998 yang memisahkan peran militer dan sipil.” Data KMSD menunjukkan 2.569 prajurit aktif masih bertugas di kementerian, BUMN, hingga pemerintah daerah. Mereka mendesak Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI segera menarik seluruh personel tersebut.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Ario Bimo Utomo, menambahkan, “Pemerintah mengabaikan prinsipĀ civilian control. Pelibatan TNI dalam penanganan siber, misalnya, harusnya melibatkan ahli sipil dengan pengawasan ketat DPR.”
Respons Pemerintah dan TNI
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membantah tuduhan pelanggaran supremasi sipil. “Penugasan prajurit di instansi sipil bersifat sementara dan hanya untuk posisi yang membutuhkan keahlian khusus,” tegasnya dalam konferensi pers 18 Maret.
Kepala Staf TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan, “TNI tetap taat konstitusi. Setiap penugasan di lembaga non-militer wajib mendapat izin presiden.” Namun, KMSD menilai klaim ini kontradiktif dengan fakta 67% penugasan prajurit di instansi sipil tidak memiliki dasar hukum jelas.
Dampak dan Langkah Ke Depan
Koalisi sipil bersama 15 organisasi mahasiswa menyiapkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka juga menggalang petisi daring yang sudah ditandatangani 12.000 orang. “Jika pemerintah tidak mencabut revisi ini, kita berisiko kembali ke era Orde Baru,” kata Koordinator Aksi, Rizal Maulana.
Analis politik Universitas Indonesia, Andi Wijayanto, memprediksi isu ini akan memanas menjelang pemilu 2024. “Revisi UU TNI bisa menjadi alat kampanye untuk menguji komitmen calon presiden terhadap reformasi sektor keamanan,” ujarnya. Tanpa transparansi, polemik ini berpotensi mengganggu stabilitas politik nasional.