Kali ini kami akan menulis artikel tentang seorang figur yang cukup terkenal, dia adalah seorang ulama dan juga seorang penulis. Sosok ini adalah Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka.
Berikut ini kami akan membahas secara singkat mengenai kisah hidupnya yang menarik untuk dibahas.
Kisah Hidup Buya Hamka
Buya Hamka punya nama lain saat ia masih kecil, yakni Abdul Malik, di mana ia lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Tanah Sirah, atau di Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan anak pertama dari empat bersaudara, anak dari Abdul Karim Amrullah ‘Haji Rasul’ dan Safiyah.
Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana, yang merupakan kakak dari Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberikan Malik saudara tiri, Fatimah, yang nantinya menikahi Sheikh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Kembali ke Minangkabau setelah belajar dengan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam yang menentang tradisi adat dan amalan tarekat, meskipun ayahnya sendiri merupakan seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah.
Sitti Tarsawa yang merupakan istri dari ayahnya merupakan anduang untuk malik, di mana ia adalah sosok yang mengajari Malik untuk menari, bernyanyi, dan membela diri. DI Maninjau, Hamka kecil hidung dengan anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam dari Minangkabau.
Ayahnya sering kali pergi berdakwah. Ketika ia berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orang tuanya ke Padang Panjang, dimana ia belajar untuk membaca Al-Qur’an dan bacaan shalat di bawah pimpinan dari Fatimah yang merupakan kakak tirinya.
Memasuki umur tujuh tahun, Malik mulai masuk sekolah desa. Di tahun 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional yang masih berbasis surau.
Sambil mengikuti pelajaran di sekolah setiap paginya di Diniyah School, kesukaan Hamka pada bahasa membuatnya sangat cepat dalam mempelajari bahasa Arab.
Di tahun 1918 Malik memutuskan berhenti bersekolah di Sekolah Desa setelah ia tiga tahun belajar di sana. Karena lebih menekankan kepada agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Di sana, para siswa harus menghafal kita b klasik, kaidah mengenai nahwu, dan juga ilmu saraf.
Karena pembelajaran yang ada di Thawalib lebih menekankan kepada menghafal, itu membuatnya membosankan. Kebanyakan siswa Thawalib merupakan remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang harus dihafalkan.
Dari kelas yang ia hadiri, ia hanya tertarik di pelajaran Arudh, di mana ini membahas mengenai puisi dalam bahasa Arab. Meskipun aktivitasnya dari pagi hingga sore dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil dikenal nakal. Dia sering kali mengganggu teman-temannya jika dia tidak mendapatkan apa yang ia mau.
Lalu bagaimana ia menjadi sosok Buya Hamka yang kita kenal seperti saat ini? Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya yakni Hamka.
Ia pernah berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia memasuki dunia politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan. Hingga akhir hayarnya, ia menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama.
Al-Azhar University and the National University of Malaysia memberikan dia penghargaan sebagai doktor, sedangkan Universitas Moestopo, Jakarta, mengonfirmasi dirinya sebagai professor. Nama dia bahkan disematkan oleh Universitas Muhammadiyah Hamka sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Saat remaja ia kerap kali pergi jauh sendirian, bahkan ia pernah meninggalkan pendidikannya di Thawalib untuk pergi ke Jawa di usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang lalu ia membesarkan Muhammadiyah.