project7alpha – Pada 4 Maret 2025, harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan menyusul keputusan OPEC+ untuk melanjutkan rencana peningkatan produksi minyak sebesar 138.000 barel per hari (bph) mulai April 2025. Keputusan ini menjadi pukulan bagi pasar yang sebelumnya telah menghadapi tekanan akibat ketidakpastian geopolitik dan perlambatan permintaan global.
Keputusan OPEC+
OPEC+ (Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya) menyepakati peningkatan produksi bertahap setelah sebelumnya menunda rencana ini sejak Desember 2024419. Kenaikan produksi ini merupakan yang pertama sejak 2022, di mana OPEC+ telah memangkas total 5,85 juta bph (5,7% pasokan global) untuk menstabilkan pasar. Rencana April 2025 merupakan bagian dari strategi “pemulihan bertahap” yang disesuaikan dengan dinamika permintaan dan risiko geopolitik.
Dampak Langsung pada Pasar
Keputusan OPEC+ langsung mengguncang pasar:
- Brent crude turun 2% ke level $71/barel, mendekati posisi terendah tiga bulan.
- WTI (AS) anjlok ke $68,30/barel, turun 0,35%315.
Penurunan ini diperburuk oleh kebijakan AS yang kontradiktif, seperti rencana penghentian ekspor minyak Iran dan pencabutan izin operasi Chevron di Venezuela46. Di sisi lain, spekulasi bahwa Trump mungkin memfasilitasi perdamaian Rusia-Ukraina justru meningkatkan ekspektasi pasokan Rusia ke pasar.
Faktor Penguat Volatilitas
- Ketegangan Geopolitik: Sanksi AS terhadap Iran, Rusia, dan Venezuela tetap menjadi ancaman bagi stabilitas pasokan.
- Kebijakan Tarif Global: Rencana tarif impor Trump terhadap Tiongkok dan negara lain berpotensi mengurangi permintaan minyak global.
- Respons Pasar Keuangan: Pelemahan harga juga dipicu kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi global yang melambat, terlihat dari penurunan indeks manufaktur dan data pengangguran AS.
Proyeksi ke Depan
Namun, analis seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley memprediksi harga minyak akan terus tertekan hingga 2025, dengan rata-rata Brent di kisaran $75–77/barel.
Keputusan OPEC+ kali ini mencerminkan dilema antara memenuhi tekanan politik AS dan menjaga keseimbangan pasar. Bagi Indonesia dan negara pengimpor minyak, penurunan harga bisa menjadi angin segar untuk menekan inflasi, meski risiko volatilitas tetap tinggi akibat dinamika geopolitik yang belum terselesaikan.